Andrea
Pirlo. Pangling-kah kamu dengan wajahnya setelah ia membela Juventus
dibandingkan dengan saat masih berkostum AC Milan? Antara wajah bersih
melankolis dan muka sangar penuh cambang?
Yang
pastu tidak membuat pangling: inilah nama jaminan setiap kali sepak bola bicara
tentang “pengatur permainan” dan jago tendangan bola mati.
Para
eksekutor bola mati, dengan spesialisasi skill masing- masing, umumnya
berkembang karena bakat dan ketekunan mengasah kemampuan. Juga bagaimna ia
mempelajari, mencontoh dan mengembangkan teknik- teknik bintang idola dan role
mode-nya.
Pirlo
adlah salah satunya. Sejak masih bocah, ia rajin mencermati teknik Zico, Diego
Maradona, dan Roberto Baggio. “Sejak kecil aku menonton video- video Baggio,
Zico, dan Maradona, berusaha menirukan mereka saat bermain sendirian dengan
(menghadapi) dinding. Memang unsur bakat itu ada, tapi anda harus memupuknya,”
katanya.
Dan
kita tahu, Pirlo menjadi salah satu maestro tendangan bebas yang bukan hanya
setara dengan tiga panutannya itu. Ia disebut- sebut memiliki teknik yang
bahkan tidak dimiliki oleh Michel Platini, Roberto Carlos, Gianfranco Zola,
Juninho, dan David Beckham.
Tendangan
Pirlo cenderung melengkung mendatangi mulut gawang, jatuh dengan arah tak terduga.
Bola seperti di-remote control untuk memaksa kiper lawan terkelabui. Tidak
sekeras dan semelengkung kanon Juninho, tidak separabolik “bulan sabit”
Beckham, tidak lurus sekencang Carlos, atau meluncur selembut kecohan Zola;
tetapi Pirlo diberkahi kemampuan mengukur presisi dengan pelintiran bola yang
bisa membuat kiper merasa betapa bodohnya.
Maka
ketika ia mengambil penalti di perempat final Euro 2012 dalam drama melawan
Inggris, saya tidak dilarutkan oleh opini bahwa Pirlo memfotokopi gaya fenomenal
Antonio Panenka di Piala Eropa 1976. Sang regisseur punya gayanya sendiri, dan
katakanlah: itu penalti khas Pirlo.
Peran
Pirlo sekarang tertuang untuk Juventus sebagai sentar permainan, otak tim, dan
titk kebergantungan. Lini tengah AC Milan goyah ketika dia hijrah ke Turin,
sama seperti ketika Internazionale kehilangan nyawa lini tengah karena ia
memilih bergabung denga Rossoneri.
“Kalau
kami menyesal, bagaimana dengan Milan?” tutr Massimo Moratti, bos Inter ketika
Milan membiarkan status free transfer pirlo ke Juventus.
Pirlo
menegaskan eksistensi sebagai regista atau deep-lying playmaker yang brilian.
Spesialisasi itu dibentuk oleh Carlo Ancelotti, yang memboyongnya ke AC Milan
pada tahun 2001. Pirlo pun mengakui kejelian Carletto. “Selamanya aku berterima
kasih kepada dia. Karier baruku berawal dari situ,” ungkap Pirlo di Daily Mail.
Kemampuan
mengatur permainan, dengan umpan- umpan terukur yang mengisyaratkan datangnya
momen penting menguak pertahanan lawan itulah yang mengukuhkan kehebatannya
sebagai konduktor, sehingga ia dijuluki L’Architetto atau Il Metronomo.
Apa
yang diraih sekarang, termasuk menjadi otak permainan di tim nasional Italia,
sangatlah kontras dengan ketika ia memulai baerbaju profesional bersama
Brescia. Daily Mail mencatat, saat
itu para jurnalis menertawakan nama seorang pemain yang baru berusia 16 tahun 2
hari. Nama Pirlo, dalam bahsa Italia, hanya berbanding satu huruf untuk sebuah
ejekan menggunakan kata “pirla” yang berarti idiot.
Tetapi
dengan kejeniusannya sekarang, siapa yang berani menertawakn Pirlo? Pada 2000, di Piala Eropa
U-21, sebagai kapten Italia dan nomor punggung 10 –kostum idolanya, Baggio
–Pirlo menjadi pemain terbaik sekaligus top skorer. Gli Azzurri mengalahkan
Republik Ceko 2-1 di Bratislava, Slovakia. Pirlo memborong dua gol di partai
pamungkas itu, antara lain lewat tendangan bebas dari jarak 25 meter, kemampuan
yang kemudian menjadi ciri khasnya.
Ia
hanya kalah formalitas dalam capaian gelar individual dari para pemain
segenerasinya di ranah pennghargaan Ballon d’Or atau yang sejenis. Statistik
pertandingan banyak menggambarkan peran besar Pirlo yang mirip Zinedine Zidan
untuk Perancis, Xavi Hernandez di timnas Spanyol, Christian Ronaldo untuk
Portugal, atau Mesut Oziel di tim Jerman. Ketika mengantar Italia menjuarai
piala Dunia 2006, Pirlo tiga kali terpilih sebagai man of the match!
Kolumnis
sepak bola Michael Cox memberi catatan, “Diakah pemain terbaik dari
generasinya? Tidak juga, tapi dia yang paling penting...”
Ya, ia
memang punya segalanya untuk belajar di level pendekar utama. Tiga scudetto,
dua gelar Liga Champions, dan Piala Dunia 2006 membuktikan kelengkapan
kontribusinya. Pemain berwajah “boros” –lebih tua dari usianya yang 33 tahun–
itu bakal dikenang sebagai konduktor orkestrasi yang membangun keindahan
simfoni tim, dan eksekutor yang tekniknya tidak dimiliki master free kick
manapun.
“Mengoper
bola kepada Pirlo sama seperti menyembunyikannya di tempat yang aman,” puji
legenda Juventus asal Polandia, Zbigniew Boniek.
Pirlo
yang kini mirip dengan aktor laga Chuck Norris itu hadir dan bertahan sebagai
bintang yang berbeda. Bukan yang bla-bla-bla dibawah sorot media, bukan pula
pribadi yang mendatangkan resistensi; ia bahkan cenderung merepresentasikan
tipe “pahlawan dalam diam”, namun kehadirannya dirasakan dari seperti apa “daya
hidup” tim yang dibelanya. Daya hidup yang kini terekspresikan dari cambang
lebatnya.