BAB 1
02.45 WIB dini hari.
Pada jam ini, menit ini, dan detik ini, di Rumah Sakit Bina Mulia Surakarta akan terjadi sesuatu peristiwa hebat dalam hidupku.
***
Seorang dokter tengah memeriksa keadaan mama dan beberapa suster mulai memasangi alat kesehatan pada tubuh mama. Dari salah satu alat, ada alat dengan layar yang menampilkan detak jantung mama seperti tulisan sandi rumput. Kuperhatikan dengan seksama kalau- kalau sandi rumput itu berubah menjadi garis vertikal yang sangat panjang.
“Maaf, anda harus keluar dulu!” perintah seorang suster sambil menggiringku keluar ruangan.
“Tapi sus, mama saya sedang kritis. Saya harus menemaninya disini!” berontakku.
“Anda akan mengganggu kalau masih tetap disini!”
Jderr! Pintu ruangan tertutup. Akupun hanya bisa menatap mama dari luar melalui kaca pintu.
Kuputuskan untuk menunggu dan aku duduk di kursi tunggu sambil merenung, jika aku kehilangan mama maka aku tak memiliki siapa- siapa lagi di dunia ini. kepalaku pening dan akupun terbang ke alam mimpi yang tenang.
***
“Maaf mbak, anda sudah bisa masuk. Beliau sudah melewati kritis dan kini sudah mulai membaik.” Kata suster sambil membangunkanku.
Aku terjaga, kutengok jam ditangan. Pukul 08.45, sudah 6 jam mama melewati kritisnya. Masih dengan kepala pening aku masuk ke ruangan mama. Alat- alat kesehatan sudah tak sebanyak tadi malam, beberapa dicopot. Aku duduk disampingnya, memegang tanganya.
“Ma, mama bangun, Resta ada disini.” Kuelus tangan mama lembut.
Wanita renta ini harus berjuang melawan virus kanker di masa tuanya. Sepeninggal papa, mamalah tulang punggung keluarga. Meskipun anaknya hanya aku, beliau selalu bekerja keras. Beliau bilang kalau ia ingin terus mengumpulkan uang untuk biaya hidupku jika ia meninggalkanku nanti. Di usianya yang hampir mencapai kepala enam, semangatnya tak serta merta padam. Dari uang pensuinan papa, penghasilan mama, dan uang hasil dari jualan butik kecilku, sebenarnya hidup kami masih sangat berkecukupuan tapi entah mengapa mama tak berhenti bekerja sebagai customer service di sebuah perusahaan swasta di Surakarta. Hingga akhirnya virus kanker rahim menggerogoti tubuh tuanya yang ia paksa bekerja keras.
Tampaknya mama belum mau membukakan matanya untukku, mungkin dia kelelahan jadi dia masih ingin tidur. Kuputuskan untuk meninggalkan rumah sakit dan pulang kerumah untuk mandi lalu berangkat kuliah.
***
Rumah besar yang tampak di depan jalan Flamboyan 5/A Perumahan Asri Surakarta adalah tempat tinggalku. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tinggal sendirian di rumah besar peninggalan papa, padahal tinggal berdua dengan mama saja sudah kesepian.
“Hey Rest, gimana keadaan mamamu? Kamu baru pulang dari rumah sakit kan?” tanya seseorang.
Kutoleh kebelakang.
“Oh, yah tadi malam mama mengalami kritis tapi sudah mulai membaik.”
“Tampaknya kamu sangat lelah, apa habis ini kamu berangkat kuliah?”
“Yah gitulah, mau gimana lagi. Aku harus ngejar ketinggalanku, skripsi sudah di depan mata.”
“Kalau gitu, nanti kamu berangkat bareng aku aja!”
“Apa si Kania nggak marah? Entar aku mau di jemput sama Rendra kok!”
“Oh ya udah kalau gitu..”
“Aku masuk dulu Al, mau mandi!”
***
Segarnya tubuh ini setelah diguyur dinginnya air. Pikiranku juga mulai mendingin setelah penat semalam. Kurebahkan tubuh pada kasur, nyaman sekali. Kulirik jam dinding, sudah pukul sepuluh. Aku harus cepat- cepat berdandan dan segera berangkat agar tak terlambat.
Kunanti Rendra, namun batang hidungnya tak juga nampak. Terdengar suara vespa Al yang meraung- raung di panaskan. Aku mulai gelisah sendiri, hingga pukul 10.15 Rendra belum juga menjemputku. Ting Tong. Suara bel, pasti Rendra!
Aku berlari meraih daun telinga pintu dan kubukakan pintu untuk Rendra, tapi bukan Rendra yang berdiri memencet bel.
“Hey Res, aku mau berangkat kuliah dan aku nggak nglihat Rendra datang jemput kamu, jadi aku dateng buat mastiin kamu berangkat belum. Ternyata kamu belum berangkat, kamu mau berangkat sama aku?”
Aku menimbang- nimbang.
“Ya sudah, ayo kita berangkat!”
Terserah mau berangkat kuliah dengan siapa asal aku sampai di kampus tepat waktu. Akhirnya aku naik vespa Al dan ia geber vespanya agar kami tak terlambat. Sudah lama aku tidak naik vespa milik Al, semenjak Rendra ada di sampingku. Al, orang ini adalah teman masa kecilku. Sejak keluargaku pindah dari Makasar ke Surakarta dan menempati rumah kami, keluarga Al lah yang pertama kami kenal. Rumahnya berhadapan dengan rumahku. Reza Alkiela Radhite nama lengkapnya, di panggil Alkiel oleh orang- orang, tapi aku memanggilnya Al dan ia tak menolak jika aku memanggilnya Al. Dia sebaya dengaku dan dari sekolah dasar hingga kuliah kami selalu bersama, kami sudah seperti kakak dan adik. Waktu SD dulu, aku sangat pemalu dan menjadi bahan ejekan serta kerap diganggu oleh teman- temanku, lalu Al datang sebagai pahlawanku. Selalu begitu hingga kami masuk SMA, kami berangkat dan pulang bersama naik vespanya. Semenjak aku masuk universitas dan mempunyai kekasih, Rendra, kedekatan kami mulai berkurang. Lagipula, Al juga tengah dekat dengan teman sekelasnya, Kania. Namun, tiap akhir pekan kami masih sering menghabiskan bersama, bersama orang terkasih kami juga tentunya.
Akhirnya sampai juga kami di kampus. Aku masuk ke kelas kedokteran sedangkan Al masuk di kelas jurusan pendidikan. Dia ingin menjadi guru sejarah.
Seusai kelas, aku langsung menuju butikku. Di butikku, aku pekerjakan tiga orang karyawan, terkadang aku juga terjun langsung melayani pembeli.
Dari butik aku meluncur menuju rumah sakit. Mama masih belum terjaga dari kritisnya. Aku harus bersabar menerima semua cobaan ini. Selepas shalat Ashar, kulantunkan ayat- ayat surat yasin untuk mama. Tak terasa air mataku menetes. Aku harus kuat, tuntutku!
“Assalamualaikum...”
Kuusap air mataku, kutengok ke pintu. Ternyata tante Ani dan om Widi datang lagi menjenguk mama.
“Wa’alaikumsalam... tante, om..”
“Mama gimana Rest? Sudah ada perubahan?” tanya om Widi.
“Yah gini om, mama sudah melewati masa kritisnya semalam. Dan kata dokter, mama belum siuman karena pengaruh obat bius, mungkin nanti malam mama akan sadar.” jawabku.
“Kamu yang sabar ya Resta, tante dan om akan selalu di sisimu setiap kamu membutuhkan kami. Kami ini juga sudah seperti orang tuamu.” kata tante Ani.
“Iya, makasih tante dukungannya.”
“Lhoh Rest, Alkiel belum kesini ya?” tanya tante Ani.
“Belum tante, memangnya kenapa?”
“Katanya pulang kuliah dia mau kesini nemenin kamu.”
Klek. suara pintu di buka.
“Asalamualaikum...”
“Wa’alaikumslam...”
“Lhoh semua ada disini ya?”
“Eh, orang yang diomongin sudah datang. Iya nih Al, Bapak sama Ibu sudah dari tadi disini. Mau cari tahu keadaan tante Ros.” kata bapak Al.
“Oh ya, Resta pasti belum makan siang kan? Makan siang dulu gih sama Alkiel, biar mamamu tante yang jaga.”
“Ah nggak usah repot- repot tante, Resta belum lapar kok.” elakku
“kruuyuuuk....”
“Ups.., perutku ini ah, nggak laper juga bunyi. Hahaha...”
“Udahlah Rest, kamu pasti lapar, pasti dari semalam kamu belum makan apa- apa. Biar tante sama om aja yang gantian jaga mamamu. Kamu makan siang aja!” suruh tante Ani.
Bener sih omongan tante Ani, aku belum makan apa- apa dari semalam. Aku hanya memikirkan mama dan tak mempedulikan kesehatan diriku sendiri. Pikirku.
“Udahlah Rest, mau makan aja mikir dulu. Kebanyakan mikir kamu!” kata Al sambil menarik lenganku.
“Pak, Bu kita makan siang dulu ya?” pinta Al sambil membawaku keluar ruangan. Aku menurut saja.
Warung di depan rumah sakit itulah yang akhirnya kami pilih untuk makan siang.
“Kamu itu, nggak boleh ngacuhin kondisi tubuh kamu. Jujur! Kamu pasti belum makan dari tadi malam?!” Al mengintrogasiku dengan mulut penuh nasi.
“Memangnya kenapa? Aku emang nggak laper kok, lagipula aku lupa kalo aku belum makan.” elakku.
“Lupa..lupa! bisa- bisanya makan lupa! Dulu kamu itu raja makan, kalo nggak makan 5 piring sehari aja udah demam. Nah ini, nggak makan dua hari. Entar kalo kamu sakit gimana?”
“Yah kalo aku sakit biar sekalian nginep di rumah sakit sama mama!”
“Kamu itu ya, orang apa batu sih? Dari dulu keras kepalanya nggak ngilang- ngilang! Katanya udah dewasa, tapi sikapnya nggak berubah masih kekanak- kanakan kayak dulu?!”
“Ah apaan sih? Aku emang keras kepala kok, udah mendarah daging, nggak bisa diilangin! Kamu lagi, dari dulu juga nggak berubah! Selalu aja nyeramahin aku kayak pak satpam pas nasehatin kita yang sering telat masuk sekolah!”
“Yee, telat sekolah kan karna dulu kamu itu ndut, jadi vespaku sering mogok gara- gara boncengin orang gendut!”
“Aku nggak gendut, cuma chubby aja! Tapi sekarang kan udah kurus!”
Aku menjulurkan lidahku pada Al. Sudah lama ini aku tidak bercanda dan bermanja- manja padanya. Aku sangat merindukan momen- momen seperti ini. Kapan lagi hal seperti akan terjadi.
“Yee, malah ngelamunin aku. Buruan nasinya di habisin! Kasian bapak ibuku nunggu lama!”
“Iya..iya mister bawel!”
***
“Maaf pak bu, Alkiel lama. Habis Resta makan sambil mikir jadi lama.”
“Apaan? Kamu juga yang ngajak ngobrol waktu makan, jadi lama!” bantahku.
“Sudah..sudah, nggak usah ribut. Ibu nggak nunggu lama kok.” kata tante Ani.
“Tante om, kalo mau pulang sekarang nggak apa- apa kok. Resta udah makan jadi udah tambah tenaga buat jagain mama.”
“Bener nih, Resta nggak apa- apa?” tanya om Widi memastikan.
“Iya nggak apa- apa.”
“Kalo gitu, biar Alkiel disini jagain kamu yah?”
“Nggak usah tante, dia pasti punya banyak tugas. Biar Al pulang saja tante.
“Ya sudah, aku sama bapak ibuku pulang dulu ya Rest. Jangan lupa makan!” kata Al mengingatkan.
“Iya...”
Ruangan kembali senyap. Sepulang Al, aku langsung merindukannya. Merindukan ejekannya, leluconnya, dan omelannya yang mampu membuatku semangat menjalani hari. Dia memang sahabatku yang paling mengertiku yang begitu berharga.
Ceklekk..
“Assalamualaikum...”
Suara itu kukenal. Ku pandang pintu ruangangan, di sudut pintu tengah berdiri lelaki tinggi tampan berparas Indonesia-Asia. Tak salah lagi, Rendra. Aku berlari ke arahnya dan segera memluknya. Air mataku tak dapat ku bendung dan mengalir deras membanjiri kemeja biru kotak-kotaknya.
“Kamu keman aja? Dari tadi pagi aku nungguin kamu. Ditelpon nggak aktif, di kampus nggak ada. Aku gelisah nunggunin kamu tahu!” cerocosku memarahi Rendra yang menghilang tanpa pesan.
“Maaf Rest, aku pergi ke Yogya dari kemaren sore habis nganterin kamu ke rumah sakit. Ada urusan penting yang harus kuurus.” jawab Rendra.
“Urusan penting apa sampe kamu nggak ngabarin aku?”
“Maaf karena keburu waktu, hapeku ketinggalan dan baterenyapun habis. Biasalah, masalah pakde. Pakde berulah lagi, jadi aku di suruh rapat keluarga dadakan di Yogya. Kamu marah ya?” tanya Rendra.
“Iya aku marah kamu ngilang nggak ngasih kabar. Tapi aku lega akhirnya kamu dateng kesini.” jawabku.
“Terus gimana mama kamu?” tanya Rendra semabri menuntunku duduk di sofa.
“Huft.. dia belum sadar. Mungkin sebentar lagi dia siuman. Rendra aku butuh dukungan kamu.”
“Iya Resta sayang, aku akan selalu di sisimu. Kita lewatin ini bareng- bareng.”
Aku merasa amat tenang mendengar jawabannya.
Rendra, Nalendra Kusuma Jaya, seorang mahasiswa jurusan pendidikan ekonomi. Sudak kupacari sejak satu tahun yang lalu. Dialah yang mengenalkan bisnis butik padaku, karena dia juga memiliki usaha mengelola sebuah resto di Surakarta. Usaha sampingannya yang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, maklum keluarganya ada di Yogya dan dia pergi ke Surakarta untuk menuntut ilmu. Sejak saat itu aku mulai tertarik padanya.