BAB 1
Kebanyakan
orang, menemukan cinta pertama saat mereka di Sekolah Menengah atas atau paling
tidak di Sekolah Menengah Pertama, bahkan ada yang baru merasakan jatuh cinta
untuk pertama kali di bangku kuliah. Tidak dengan anak perempuan kecil itu.
Anak kecil
dengan paras biasa saja itu barusaja duduk di kelas satu setelah lolos tes dari
sebuah sekolah dasar kenamaan di salah satu kota di Jawa Tengah. Ia terlalu
takut untuk memulai segalanya di kota asing yang baru disambanginya setelah
ayahnya mengajak pindah ke kota tersebut. Tapi sebuah chiki dan minuman rasa
mungkin cukup untuk mengatasi rasa takutnya dan membuatnya mau untuk
bersekolah.
Banyak
sekali anak- anak kecil yang ia temui di kelas barunya tersebut, di dalam kelas
yang berisi anak- anak bau kencur nan ribut itu, ia mulai melihat pemandangan
lain. Berisik, tawa riang anak- anak usia 7 tahun dengan celotehannya yang
tidak karuan membuatnya sadar, bahwa dunia tidak sesunyi seperti yang ia kira
selama ini.
Memulai
pendidikan untuk enam tahun kedepan, akhirnya ia menemukan mahkluk lain selain
adik kecilnya dan boneka di kamar atau anjing peliharaannya, makhluk itu
disebut teman. Anak perempuan kecil itu duduk berdesakan dengan dua makhluk
yang disebut teman tadi. Makhluk itu memiliki nama seperti dirinya. Yang
berambut panjang dengan cengiran khasnya bernama Nourmala Farih Ikmaliyani, dan
makhluk- makhluk lain di kelas itu memanggilnya Lia. Sedang satunya, yang
berambut pirang karena terbakar matahari bernama Fima, lengkapnya Nurlaela Fima
Ardiana. Anak perempuan kecil dan Fima selalu berebut untuk duduk bersebelahan
dengan Lia. Maklum saja, dalam kelas itu terdapat 51 anak. Dan mereka harus
rela duduk berdesakan.
Hari-
hari anak perempuan kecil itu berjalan layaknya kehidupan perempuan kecil yang
baru belajar memahami dunia. Dunia anak kecil yang penuh atmosfir bahagia,
bermain- main seperti tanpa beban. Ia belum menemui kejamnya dunia.
Tidak,
ia paham bahwa dunia kejam. Bahwa dunia itu tak semudah ia bermain petak umpet,
atau bermain gobak sodor. Bahwa dunia tidak adil ketika ia mulai merasakan
sesaknya oksigen. Semua ini karena suatu hal. Bukan karena ia duduk berdesakan
dengan kedua makhluk- makhluk yang bernama Lia dan Fima. Bukan karena dalam
kelasnya berisi 51 anak- anak yang gaduh. Bukan. Tapi dipojok kelas itu,
duduklah makhluk yang berbeda dengan dirinya. Berambut pendek dengan belah
tengah dan memakai celana. Tidak seperti dirinya yang berambut sebahu dan
berbelah pinggir serta memakai rok.
Makhluk
bercelana itu tersenyum, senyum tanpa duka. Senyum seorang anak laki- laki
kecil yang riang. Dengan gigi yang kesemuanya taring. Ia tampak begitu manis.
Anak
perempuan kecil itu seperti menemukan harta karun di pojok kelasnya. Tak
hentinya ia memandang ke sisi kelasnya yang gelap itu, takut kalau harta
karunnya akan dicuri orang. Ia tak memahami mengapa dirinya berbuat demikian.
Banyak makhluk lain yang bercelana di kelasnya selain makhluk berambut belah
tengah itu.
0 comment:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkujung dan membaca kiriman saya. Kirim balik komentar kalian :)