Dua tahun akhirnya berhasil ia jalani di sekolah dasar itu.
Dan berharap setelah naik tingkat akan mengetahui banyak hal lain yang tak ia
ketahui sebelumnya. Dan berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan kata-
kata di siang itu, sangat tak mudah seperti saat ia bersembunyi dalam permainan
petak umpet. Namun, ia tak mengetahui apa ekor dari semua itu. Yang ia tahu,
makhluk itu menyuruhnya untuk tidak membicarakan kata- kata di siang itu kepada
makhluk- makhluk lain.
Di
kelas tiga sekolah dasar, ia merasa bahwa ia telah melengkapi warna pelangi
dalam hidupnya. Setahunya, warna pelangi hanyalah tiga, merah, kuning, dan
hijau. Dan itu sudah cukup indah baginya. Kelasnya masih sama, dengan anak-
anak gaduh yang bertambah usianya dan bertambah pula kenakalannya.
Nasib
makhluk bercelana dan berambut belah tengah itu dibenaknya juga masih sama. Hanya
sikapnya di depan makhluk itu yang berbeda. Anak perempuan kecil itu merasa
telinganya sangat peka jika mendengar nama Ronggo disebut. Ia juga tersenyum
ketika melihat wajah makhluk bercelana itu dari kejauhan. Dan ia merasa takut
dan jantung yang berdegup sangat kencang jika ia berada dekat di sekitar
makhluk itu.
Lama
waktu membawanya dalam lautan hutan tanda tanya itu. Makhluk- makhluk lain
dalam kelasnya juga mulai menyadari hal lain yang menyenangkan selain bermain
petak umpet. Ada hal lain yang tumbuh tanap mereka bersusah payah menebat benih
dan merawatnya. Mereka juga tak tahu, kapan benih itu tumbuh dan bagaimana
benih itu membuat mereka merasakan sensasi yang aneh. Atmosfir lain yang aneh,
tak sama seperti rasa bahagia ketika mereka lolos bersembunyi saat bermain
petak umpet. Aneh dan tak biasa.
Cinta,
kata yang masih sangat tak beraturan bagi makhluk- makhluk di kelas gaduh itu.
Masih begitu hijau untuk memikirkan sebuah kata tersebut. Mungkin mereka akan
pusing saat berusaha memecahkan kata tersebut, lebih pusing daripada saat
mengerjakan soal hitungan pembagian dan perkalian matematika.
Namun,
meraka tak perlu memikirkannya. Yang perlu mereka lakukan adalah merasakannya,
menikmati sensasi dari setiap inci kata tersebut. Sang guru tak tahu, kapan
mereka siap memahami arti kata itu. Biarlah mereka merasakan kata itu seperti
merasakan hangatnya sinar matahari menyentuh kulit muda mereka. Merasakan
sejuknya seperti angin yang membelai rambut mereka. Seperti hujan yang
menuntaskan dahaga bumi dikala musim kemarau. Begitu juga dengan anak perempuan
kecil itu.
Suatu saat makhluk- makhluk di kelas itu akan merasakan hal
yang memuncah yang asalnya dari anath berantah. Suatu rasa selain rasa manis,
asin, pahit, atau asam yang meledak dari kepala mereka.
0 comment:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkujung dan membaca kiriman saya. Kirim balik komentar kalian :)